Nabillah Djindan: "Alam Tersakiti"

Banjir bandang yang terjadi Kota Manado memberi kesan tersendiri bagi Nabillah Djindan. Perempuan kelahiran Manado, 1 Januari 1991 yang sedang kuliah di Pasca Sarjana Unsrat Jurusan Linguistik ini sedang tidak berada di Manado ketika banjir itu terjadi 15 Januari 2014 lalu.

"Saya baru saja tiba dari penelitian bahasa untuk keperluan tesis saya di suku Pedalaman Baloa Doda, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Kabar soal banjir itu saya terima dari ibu saya yang menelepon saat sudah ada di kaki gunung untuk melakukan pendakian di Rante Mario Gunung Latimojong," ujar puteri pasangan Gasim Djindan dan Nung Kusnuryati ini, Sabtu (25/1/2014).

Nabillah awalnya tidak percaya ada banjir separah itu terjadi di Manado. Akhirnya saat ini, ketika ia sudah pulang ia sadar kota ini sudah porak-poranda akibat banjir bandang itu. "Sudah tiga hari ini, saya beserta kawan-kawan pecinta alam dari FKPA Sulut membagikan sembako dan memberi bantuan tenaga untuk membersihkan rumah di beberapa lokasi korban banjir," ujar anggota Mahasiswa Pecinta Alam Art, Science and Sport (Artsas) di Fakultas Sastra Unsrat Manado ini.

Ia mengaku rumahnya tidak terkena banjir tapi banyak rumah milik sanak saudaranya yang tertimpa. "Memang perlu ada pencegahan banjir di Sulut dan menurut saya ini bagian dari kewajiban dari masyarakat untuk lebih bersikap baik kepada alam. Sudah sering adanya imbauan dari pemerintah dan berbagai LSM pencinta lingkungan namun masyarakat baru rasakan dampak dari kelalaian mereka saat ini," ucap warga Tuminting, Sindulang ini.

Perempuan yang senang menulis puisi ini pun menyebut jika saat ini alam di Sulut sedang menangis. "Alam memang tersakiti oleh campur tangan para pemimpin yang rakus. Rakus akibat reklamasi pantai, ketika pesisir ditimbun oleh gedung-gedung yang tinggi, maka kuranglah penyerapan air untuk langsung bermuara ke laut. Kemudian masyarakat juga yang malas, membuang sampah sembarangan.

Masyarakat yang juga mau dibodohi oleh makelar-makelar penjual rumah yang dekat dengan aliran sungai, dekat dengan perbukitan, padahal mereka tak menyadari akibatnya nanti bakalan banjir dan terkena longsor," ucap aktivis lingkungan yang juga hobi hiking ini.

Menurut gadis yang memiliki tinggi 170 centimeter ini, sebelum alam lebih murka, sebaiknya semua elemen masyarakat lebih memahami hakikat untuk tidak membuang sampah sembarangan, banyak menanam pohon dan memilih lokasi rumah yang jauh dari pinggir sungai atau tebing rawan longsor.

"Selaku pecinta alam, saya dan kawan-kawan melakukan yang terbaik untuk membantu. Tapi untuk jangka panjang sebaiknya kita semua menyadari pentingnya mencegah terjadinya bencana apapun di daerah kita dengan tindakan-tindakan yang cinta lingkungan. Salam Lestari," ucap finalis Puteri Indonesia Sulut 2010 dan finalis Pemilihan Nyong dan Noni Sulut tahun 2013.

Postingan populer dari blog ini

Pingkan Debora Ulus Kini Lebih Siap

Devita Yanti Tawoto Sentil Kepentingan Politik

Siltas Tatuil Tidak Sekolah Selama 3 Hari