Susan, Lurah Kontroversi Jakarta Berdarah Manado

Balai Kota DKI Jakarta seperti lautan berwarna putih, Juni lalu. Lebih dari 400 pemenang lelang jabatan yang digagas Sang Gubernur, Joko Widodo, dilantik. Di antara para pejabat terpilih itu, tampak seorang perempuan cantik. Posturnya tegap, penuh percaya diri.

Dialah Susan Jasmine Zulkifli. Kala itu, Susan bukan siapa-siapa. Namanya baru mencuat sekitar dua bulan setelah menduduki posisi sebagai Lurah Lenteng Agung. Susan diprotes warga karena dianggap tak bisa membaur dengan padatnya aktivitas keagamaan di wilayah itu.

Masyarakat Lenteng Agung mayoritas beragama Islam. Susan sendiri Kristen. Perbedaan itu memicu kontroversi. Bukan hanya perkara ketidakpatutan kepemimpinan, tetapi juga soal kinerja. Warga menganggap, Susan takkan didukung penuh karena ia tak memiliki ikatan batin dengan mereka.
Di balik segala kontroversi itu, seperti apa sebenarnya sosok Susan?

Ditemui VIVAlife minggu lalu, wanita kelahiran Jakarta, 3 April 1970 itu terlihat sebagai pribadi sederhana. Dengan seragam lurahnya, dia selalu menyempatkan diri menyapa warga. Senyum ramah selalu mengembang di wajahnya. Dia sebarkan tanpa pandang status.

Pintu ruangannya juga selalu terbuka untuk siapa saja. Mulai dari pegawai yang menyampaikan surat, sampai warga yang ingin berkenalan dengan lurah barunya. Jika sedang diburu berkas, warga dipersilakan naik ke lantai dua dan bertatap muka langsung dengan Sang Lurah.

Jika senggang, giliran Susan yang turun menghampiri warga. Tak canggung, ia juga berkomunikasi dengan mereka yang pernah berteriak marah sambil membawa spanduk protes di depan kantornya.
Dari penampilannya, Susan juga terlihat ‘koboi’. Apalagi dengan potongan rambut cepak yang sudah ia pelihara sejak tahun lalu. Melengkapi diri dengan topi, Susan kerap  blusukan ke lapangan. Tak pandang waktu, ia juga sering bekerja sampai larut malam.
Susan merasa hanya menjalankan tugasnya sebagai lurah. Mengusahakan yang terbaik untuk lingkungan yang dipimpinnya.
Kesayangan Keluarga
Yang paling disyukuri Susan dari hidupnya adalah: dukungan penuh keluarga. Meski waktunya banyak tersita untuk pekerjaan, baik suaminya Daniel, maupun putri semata wayangnya Claudia Gabriel tak pernah protes.
“Ya harus dukung. Kalau nggak didukung mereka, saya nggak akan bisa,” kata Susan.
Bahkan, sang putri lah yang paling antusias mendukung. Ia juga yang mendorong Susan mengikuti lelang jabatan sebagai lurah. Padahal, awalnya Susan tak tertarik.

“Ayo Ma ikut, nanti aku dukung,” ujarnya waktu itu. Karena persyaratannya memenuhi, Susan pun mau. Dia mendaftarkan diri ikut uji kompetisi lelang jabatan pada menit-menit terakhir. Keinginan Claudia menjadi semangatnya.

Setelah jadi lurah, Susan mengakui hidupnya tak lagi sama. Ia tak bisa bebas menikmati waktu senggang dengan keluarga. “Bisa makan bareng saja sudah syukur,” ucapnya sambil tersenyum getir. Apalagi bisa memasak untuk orang-orang tersayang. Biasanya, dia hanya sempat sarapan bersama.

Setelah itu, dia berangkat kerja dari Gondangdia ke Lenteng Agung. Mobil dinas dia kendarai sendiri. Terkadang, jika masih ada waktu, dia sempatkan mengantar Claudia ke sekolah. Anaknya itu kini duduk di kelas 1 SMA.
Susan sangat menyayanginya. Apapun permintaan Claudia, selagi masih masuk akal, selalu berusaha dia penuhi. Salah satunya, keinginan pergi bersama keluarga.
Suatu malam, saat dihubungi VIVAlife, Susan mengaku sedang menunggu putrinya mandi dan bersiap. Mereka hendak makan malam di luar. Baik Susan, Daniel, maupun Claudia, menunggu-nunggu kesempatan seperti itu.
“Dia (Claudia) minta, ‘Ma pergi bareng dong’,” cerita Susan. Baginya, keinginan sederhana itu tak bisa ditawar lagi. Maka, dia segera membereskan agenda rapat, menyelesaikan berkas-berkas, dan urusan lainnya. Tujuannya, bisa pulang sebelum malam.

Ia pergi bersama keluarga kecilnya. Tak lama memang, namun berkualitas. Suami dan anaknya pun senang. Mereka sadar, Susan kini tak punya banyak waktu. Meski begitu, alumnus FISIP Universitas Indonesia itu tetap menjadi kesayangan mereka.

Lagipula, Susan tetap mengerti porsinya sebagai istri maupun ibu. “Akhir pekan bisa saja saya juga kerja. Tapi setiap senggang, saya pasti meluangkan waktu untuk keluarga. Makan bareng, atau main ke mana. Di rumah saja juga nggak apa-apa. Yang penting bareng,” ungkapnya.

Limpahan kasih sayang untuk keluarga itu tak berlebihan jika mengingat masa kecil Susan yang pahit. Orang tuanya berpisah sejak dia masih sangat belia. Di usia sekolah dasar, Susan sudah harus memilih orang tua.
Termasuk agama yang dianutnya. Ikut ayah yang beragama Islam, atau ibu yang Kristen. Wanita berdarah Manado itu memutuskan yang kedua. Ia tak ingin, yang terjadi padanya terulang pada keluarga yang dibinanya saat ini.
Impian Susan
Sebenarnya, menjadi lurah tak pernah diimpikan Susan. Saat ditanya soal cita-cita, dia tertawa. “Jadi dokter,” jawabnya, cepat dan singkat. Seperti boneka Susan yang dimainkan Ria Enes.

Namun, kesempatan membawanya ke posisi saat ini. Susan merasa, itu takkan terulang dua kali. Sekarang, atau tidak sama sekali.
Akhirnya, dia mencoba peruntungan dalam lelang jabatan ala Jokowi dan Ahok. Posisinya adalah Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Kelurahan Senen waktu itu. Golongannya sudah III-D. Dia juga mengantongi penghargaan Satyalancana Karya Satya karena telah 20 tahun mengabdi sebagai PNS.

Kemampuan Susan terbukti. Dia mendapat nilai terbaik di kelompoknya saat menjalani uji kompetensi. Analisis kasus, soal-soal tentang ketatanegaraan, semua dilakoninya dengan nyaris sempurna. Mantan staf BKKBN itu akhirnya didapuk memimpin warga Lenteng Agung.

Meski dirong-rong protes di sana-sini, Susan tak peduli. Dia tetap menjalankan amanat yang diberikan Jokowi dan Ahok. “Saya ini lurah, kerja saja,” celotehnya mantap. Tak pernah sedikit pun terbersit rasa takut dalam diri Susan. Niat mundur, sama sekali tak ada dalam kamusnya.
Jelas saja, tak mudah bagi Susan menggapai posisinya saat ini. Lulus dari SMA Katolik Rajawali, dia tak langsung kuliah. Susan mendaftar CPNS tahun 1990, dan menjadi PNS pada 1991. Setelah beberapa tahun pengabdian, dia mendapat beasiswa. Susan mengambil jurusan Administrasi Negara.

Semasa kuliah, dia tak pernah berleha-leha. Aktif di kegiatan kemahasiswaan pun tidak. Susan kuliah sembari kerja. Hingga akhirnya, dia bisa lulus tepat waktu. Bertahun-tahun kemudian, dia masih mengabdikan diri di BKKBN. Tahun 2012, dirinya bercokol di Kelurahan Senen.

Sampai akhirnya, ia menjadi lurah yang kontroversial. Jauh di dasar hatinya, semakin diprotes semakin kuat keinginannya membuktikan bahw dirinya bisa. Bagi Susan, kegigihannya nanti akan menjadi suara lantang bagi kaum minoritas sepertinya. Apalagi, dia wanita.

“Justru karena saya Kristen dan perempuan, ingin membuktikan bahwa saya bisa,” ujarnya.
Dia tak hanya mengupayakan berbagai hal-hal positif bagi Lenteng Agung, seperti renovasi taman dan perbaikan sistem pembuangan. Tetapi juga punya impian lebih untuk dirinya pribadi. Susan yang awalnya easy going, kini lebih punya ambisi dalam karier. Dia ingin lebih baik dari sekarang.

Susan yakin, hidupnya tak hanya akan berhenti sebagai lurah. “Kalau masih ada kesempatan maju terus, ya maju,” katanya yakin. Selagi usianya masih ada, ia pantang berhenti berusaha. Wanita 43 tahun itu tak menyebutkan apa obsesi tertingginya. Yang jelas, jalan apapun ditempuh untuk masa depan lebih baik.
Foto senyum penuh kebanggaan saat dilantik sebagai lurah yang terpampang di ruang kerjanya, sepertinya bakal menjadi pondasi untuk karier cemerlang selanjutnya. Dengan begitu, dia sekaligus menjadi inspirasi bagi keluarganya.

Postingan populer dari blog ini

Pingkan Debora Ulus Kini Lebih Siap

Devita Yanti Tawoto Sentil Kepentingan Politik

Siltas Tatuil Tidak Sekolah Selama 3 Hari